28 Agustus, 2010

imsyak

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum makan dan minum ketika muadzin mengumandangkan adzan atau sesaat setelah adzan, terutama bila terbitnya fajar tidak diketahui dengan pasti ?

Jawaban
Batas yang menghalangi seseorang yang berpuasa dari makan dan minum adalah terbitnya fajar, berdasarkan firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajarâ€‌ [Al-Baqarah ; 187]

Dan sabda Nabi Shallallahu â€کalaihi wa sallam

“Artinya : Makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangakan adzanâ€‌

Perawi hadits ini menyebutkan, “Ibnu Ummi Maktum adalah seorang laki-laki buta, ia tidak mengumandangkan adzan kecuali diberitahukan kepadanya, â€کEngkau telah masuk waktu subuh, engkau telah masuk waktu subuhâ€‌ [1]

Jadi, tandanya adalah terbitnya fajar. Jika muadzinnya seorang yang tepat waktu dan dikenal tidak pernah mengumandangkan adzan kecuali setelah terbitnya fajar, apabila ia adzan maka yang mendengarnya wajib menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dengan patokan mendengar adzannya. Jika muadzinnya memang biasa mengumandangkan adzan berdasarkan perkiraan, maka sebaiknya orang menghentikan kegiatan makannya ketika mendengarnya, kecuali orang yang sedang di dataran dan dapat menyaksikan fajar, maka ia tidak perlu berhenti hanya karena mendengar adzannya sampai ia betul-betul melihat terbitnya fajar jika tidak ada sesuatu yang menghalanginya, karena Allah telah menetapkan hukum ini dengan ketentuan bergantinya malam ke siang yang ditandai dengan terbitnya fajar. Nabi Shallallahu â€کalaihi wa sallam pun telah mengatakan tentang adzannya Ibnu Ummu Maktum, “Ia tidak adzan kecuali setelah terbitnya fajarâ€‌ [2]

Perlu saya ingatkan di sini tentang masalah yang dilakukan oleh sebagian muadzin, yaitu mereka mengumandangkan adzan sebelum fajar, yaitu sekitar lima atau empat menit dengan alas an untuk kehati-hatian bagi yang hendak berpuasa.

Sikap kehati-hatian semacam ini termasuk berlebih-lebihan, bukan kehati-hatian yang syar’i, Nabi Shallallahu â€کalaihi wa sallam telah bersabda : “

“Artinya : Binasalah orang yang berlebih-lebihanâ€‌ [3]

Yaitu kehati-hatian yang tidak benar, karena mereka memberikan sinyal kehati-hatian untuk puasa tapi malah menimbulkan keburukan dalam perkara shalat. Banyak orang yang langsung mengerjakan shalat subuh begitu mendengar adzan. Ini berarti orang-orang tersebut shalat subuh karena mendengar adzan yang sebenarnya dikumandangkan sebelum waktunya, padahal mengerjakan shalat sebelum waktunya tidak sah. Dengan demikian berarti telah menimbulkan petaka bagi orang-orang yang shalat.

Lain dari itu, hal ini pun berarti keburukan bagi yang hendak berpuasa, karena adanya adzan tersebut telah menghalangi seseorang yang hendak berpuasa dari makan dan minum, padahal saat tersebut termasuk saat yang masih dibolehkan oleh Allah. Dengan demikian berarti terlah berbuat dosa terhadap orang-orang yang hendak berpuasa, karena ia mencegah mereka dari apa yang dihalalkan oleh Allah bagi mereka, dan berarti pula berdosa terhadap orang-orang yang shalat karena mereka mengerjakan shalat sebelum waktunya, yang mana hal ini membatalkan shalat mereka.

Maka seorang muadzin hendaknya senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menempuh cara kehati-hatian yang benar berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah.

[Kitab Ad-Da’wah (5), Ibnu Utsaimin, (2/146-148)]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-1, Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat Al-Bukhari, Kitab Al-Adzan (617), Muslim, Kitab Ash-Shiyam (1092)
[2]. Hadits Riwayat Al-Bukhari, Kitab Ash-Shaum (1919), Muslim, Kitab Ash-Shiyam (1092)
[3]. Hadits Riwayat Muslim, Kitab Al-â€کIlm (2670)



Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1617&bagian=0

Haid dan Puasa

MENCEGAH HAIDH AGAR BISA BERPUASA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa pendapat Anda tentang wanita yang mengkonsumsi pil pencegah haidh hanya untuk bisa berpuasa bersama orang-orang lainnya di bulan Ramadhan .?

Jawaban
Saya peringatkan untuk tidak melakukan hal-hal semacam ini, karena pil-pil pencegah haid ini mengandung bahaya yang besar, ini saya ketahui dari para dokter yang ahli dalam bidang ini. Haidh adalah suatu ketetapan Allah yang diberikan kepada kaum wanita, maka hendaklah Anda puas dengan apa yang telah Allah tetapkan, dan berpuasalah Anda jika Anda tidak berhalangan. Jika Anda berhalangan untuk berpuasa maka janganlah berpuasa, hal itu sebagai ungkapan keridhaan pada apa yang telah Allah tetapkan.

[52 Su'alan an Ahkaiml haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 19]


SAYA PERNAH BERTANYA KEPADA SEORANG DOKTER, IA MENGATAKAN, BAHWA PIL PENCEGAH HAIDH ITU TIDAK BERBAHAYA


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin




Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Saya seorang wanita yang mendapatkan haidh di bulan yang mulia ini, tepatnya sejak tanggal dua lima Ramadhan hingga akhir bulan Ramadhan, jika saya mendapatkan haidh maka saya akan kehilangan pahala yang amat besar, apakah saya harus menelan pil pencegah haidh karena saya telah bertanya kepada dokter lalu ia menyatakan bahwa pil pencegah haidh itu tidak membahayakan diri saya ..?

Jawaban
Saya katakan kepada wanita-wanita ini dan wanita-wanita lainnya yang mendapatkan haidh di bulan Ramadhan, bahwa haidh yang mereka alami itu, walaupun pengaruh dari haidh itu mengharuskannya meninggalkan shalat, membaca Al-Qur'an dan ibadah-ibadah lainnya, adalah merupakan ketetapan Allah, maka hendaknya kaum wanita bersabar dalam menerima hal itu semua, maka dari itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang kala itu sedang haidh :

"Artinya : Sesungguhnya haidh itu adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan kepada kaum wanita".

Maka kepada wanita ini kami katakan, bahwa haidh yang dialami oleh dirinya adalah suatu yang telah Allah tetapkan bagi kaum wanita, maka hendaklah wanita itu bersabar dan janganlah menjerumuskan dirinya ke dalan bahaya, sebab kami telah mendapat keterangan dari beberapa orang dokter yang menyatakan bahwa pil-pil pencegah kehamilan berpengaruh buruk pada kesehatan dan rahim penggunanya, bahkan kemungkinan pil-pil tersebut akan memperburuk kondisi janin wanita hamil.

[Durus wa Fatawa Al-Harram Al-Makki, Ibnu Utsaimin, 3/273-274]


MEGKONSUMSI PIL PENCEGAH HAIDH AGAR BISA BERPUASA BERSAMA ORANG-ORANG LAINNYA


Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta




Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Saya mengkonsumsi pil-pil pencegah haidh di bulan Ramadhan, apakah boleh bagi saya untuk berpuasa pada hari-hari saya mengkonsumsi pil tersebut di bulan Ramadhan ? Sementara yang saya lakukan, tetap berpuasa dan shalat bersama orang-orang lainnya, apakah dengan begitu saya berdosa. ?

Jawaban
Boleh bagi seorang wanita untuk mengkonsumsi sesuatu yang dapat menunda datangnya haidh agar dapat melaksanakan haji atau umrah atau puasa di bulan Ramadhan.

Anda tidak diharuskan untuk mengqadha hari-hari puasa yang telah Anda lakukan bersama-sama yang lainnya dengan mengkonsumsi pil pencegah haidh.

[Majalah Al-Buhuts Al-Islmiyah, 22/62]


HUKUM MENCICIPI MAKANAN KETIKA BERPUASA


Pertanyaan
Apa hukumnya mencicipi makanan bagi wanita yang berpuasa di siang hari Ramadhan.?

Jawaban
Boleh melakukan hal itu untuk suatu keperluan akan tetapi ia harus membuang (meludahkan) kembali apa yang dicicipinya itu.

MENGELUARKAN DARAH SELAMA TIGA TAHUN, APA YANG HARUS DILAKUKAN DI BULAN RAMADHAN


Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta



Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Seseorang berkata : Saya mempunyai seorang ibu berumur enam puluh lima tahun dan selama sembilan belas tahun ini ia tidak mendapatkan anak. Ia mengalami pendarahan selama tiga tahun, dan tampaknya hal itu adalah penyakit. Karena dia akan menghadapi puasa, maka mohon dengan hormat apa nasehat yang perlu Anda sampaikan untuknya ? Dan apa yang harus ia lakukan .?

Jawaban
Wanita seperti ini, yang menderita pendarahan, hukumnya yaitu meninggalkan shalat dan puasa pada masa-masa haidhnya dahulu sebelum datangnya penyakit yang ia derita saat ini. Jika kebiasaan haidhnya datang di awal bulan selama enam hari misalnya, maka ia harus meninggalkan puasa dan shalat setiap awal bulan selama enam hari, selesai enam hari itu ia harus mandi, shalat dan berpuasa. Adapun shalat wanita ini adalah, terlebih dahulu mencuci kemaluannya hingga bersih atau memberi pembalut kemudian berwudhu, dan hal itu dilakukan setelah masuk waktu shalat wajib, bagitu juga jika ia ingin melakukan shalat sunat di luar waktu shalat wajib. Dalam keadan seperti ini untuk tidak menyulitkan maka ia diperbolehkan menjama' shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan Maghrib dengan shalat Isya, jadi bersuci yang ia lakukan sekali dapat untuk melakukan dua shalat, sehingga untuk melaksanakan shalat lima waktu dapat dikerjakan dengan tiga kali.

Saya ulangi sekali lagi, ketika akan bersuci, hendaklah ia membersihkan kemaluannya terlebih dahulu dan membalutnya terlebih dahulu dan membalutnya dengan kain atau lainnya untuk mengurangi yang keluar, kemudian berwudhu dan shalat. Shalat Zhuhur empat raka'at, Ashar empat raka'at, Maghrib tiga raka'at, Isya empat rakaat dan shubuh dua rakaat. Tidak mengqashar sebagaimana yang dikira oleh orang-orang. Tetapi boleh menjama Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya, baik berupa jama ta'khir mupun jama' taqdim. Dan bila ia hendak shalat sunat dengan wudhu tadi maka tidak apa-apa.

[Ibid, halaman 25-26]



[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, hal 263- 270, penerjemah Amir Hamzah Fakhrudin]




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1161&bagian=0

puasa

TARGHIB PUASA RAMADHAN
Oleh
Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

[1]. Pengampunan Dosa

Allah dan Rasul-Nya memberikan targhib (spirit) untuk melakukan puasa Ramadhan dengan menjelaskan keutamaan serta tingginya kedudukan puasa, dan kalau seandainya orang yang puasa mempunyai dosa seperti buih di lautan niscaya akan diampuni dengan sebab ibadah yang baik dan diberkahi ini.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, (bahwasanya) beliau bersabda.

"Artinya : Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan ihtisab maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu" [1]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu juga, -Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda.

"Artinya : Shalat yang lima waktu, Jum'at ke Jum'at. Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa yang terjadi di antara senggang waktu tersebut jika menjauhi dosa besar" [Hadits Riwayat Muslim 233]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu juga, (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah naik mimbar kemudian berkata : Amin, Amin, Amin" Ditanyakan kepadanya : "Ya Rasulullah, engkau naik mimbar kemudian mengucapkan Amin, Amin, Amin?" Beliau bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya Jibril 'Alaihis salam datang kepadaku, dia berkata : "Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tapi tidak diampuni dosanya maka akan masuk neraka dan akan Allah jauhkan dia, katakan "Amin", maka akupun mengucapkan Amin...." [2]

[2]. Dikabulkannya Do'a dan Pembebasan Api Neraka

Rasullullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang dibebaskan dari neraka setiap siang dan malam dalam bulan Ramadhan, dan semua orang muslim yang berdo'a akan dikabulkan do'anya" [3]

[3]. Orang yang Puasa Termasuk Shidiqin dan Syuhada

Dari 'Amr bin Murrah Al-Juhani[4] Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Datang seorang pria kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian berkata : "Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah, engkau adalah Rasulullah, aku shalat lima waktu, aku tunaikan zakat, aku lakukan puasa Ramadhan dan shalat tarawih di malam harinya, termasuk orang yang manakah aku ?" Beliau menjawab.
"Artinya : Termasuk dari shidiqin dan syuhada" [Hadits Riwayat Ibnu Hibban (no.11 zawaidnya) sanadnya Shahih]


[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata]
_________
Foote Note.
[1] Hadits Riwayat Bukhari 4/99, Muslim 759. Makna "Penuh iman dan Ihtisab' yakni membenarkan wajibnya puasa, mengharap pahalanya, hatinya senang dalam mengamalkan, tidak membencinya, tidak merasa berat dalam mengamalkannya
[2] Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/192 dan Ahmad 2/246 dan 254 dan Al-Baihaqi 4/204 dari jalan Abu Hurairah. Hadits ini shahih, asalnya terdapat dalam Shahih Muslim 4/1978. Dalam bab ini banyak hadits dari beberapa orang sahabat, lihatlah dalam Fadhailu Syahri Ramadhan hal.25-34 karya Ibnu Syahin
[3] Hadits Riwayat Bazzar 3142, Ahmad 2/254 dari jalan A'mas, dari Abu Shalih dari Jabir, diriwayatkan oleh Ibnu Majah 1643 darinya secara ringkas dari jalan yang lain, haditsnya Shahih. Do'a yang dikabulkan itu ketika berbuka, sebagaimana akan datang penjelasannya, lihat Misbahuh Azzujajah no. 60 karya Al-Bushri
[4] Lihat Al-Ansab 3/394 karya As-Sam'ani, Al-Lubap 1/317 karya Ibnul Atsir




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&

Apakah Lailatul Qadar Itu Sudah Pasti Pada Suatu Malam Atau Berpindah-Pindah Pada Setiap Tahunnya

APAKAH MALAM LAILATUL QADAR ITU SUDAH PASTI PADA SUATU MALAM ATAUKAH BERPINDAH DARI SUATU MALAM KE MALAM LAINNYA PADA SETIAP TA HUN


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan,
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah malam Lailatul Qadar itu suah pasti pada suatu malam ataukah berpindah dari suatu malam ke malam lainnya pada setiap tahunnya ?

Jawaban
Tidak diragukan lagi bahwa Lailatul Qadar terjadi pada bulan Ramadhan. Allah berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya kami telah menurunkan (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan" [Al-Qadar : 1]

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga menjelaskan dalam ayat yang lain bahwa Dia telah menurunkan Al-Qur'an pada bulan Ramadhan.

"Artinya : (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an" [Al-Baqarah : 185]

Rasulullah pernah beri'tikaf pada sepuluh malam pertama bulan Ramadhan untuk mencari Lailatul Qadar, lalu beri'tikaf pada sepuluh malam pertengahan, hingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Lailatul Qadar ini pada sepuluh malam terkahir pada bulan Ramadhan.[1]. Kemudian terjadi persamaan mimpi di antara beberapa sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa ia terjadi tujuh malam terakhir dari Ramadhan. Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Saya melihat bahwa mimpi kalian saling bersesuaian terjadi pada tujuh malam terakhir. Maka barangsiapa yang ingin mencarinya hendaklah ia mencarinya pada tujuh malam terakhir"

Inilah pembatasan yang paling minimal dari penentuan dalam waktu tertentu.

Jika kita memperhatikan dalil-dalil tentang Lailatul Qadar, akan jelas bagi kita bahwa Lailatul Qadar itu berpindah dari satu malam ke malam lainnya. Ia tidak terbatas dengan satu hari tertentu pada setiap tahunnya. Nabi pernah diberi tahu dalam tidurnya tentang Lailatul Qadar. Sedangkan pagi harinya beliau sujud di atas tanah yang tergenang air yang mana malam itu adalah malam ke dua puluh satu [3] Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda.

"Artinya : Carilah Lailatul Qadar pada hari ganjil di sepuluh malam terakhir dari Ramadhan" [4]

Hal ini menujukkan bahwa Lailatul Qadar tidak terbatas pada satu malam tertentu. Dari sini terkumpullah dalil-dalilnya, sehingga seyogyanya seseorang selalu mengharap turunnya Lailatul Qadar pada setiap malam dari sepuluh malam terakhir. Dan pahala Lailatul Qadar itu diperoleh oleh siapa saja yang menghidupkan malam itu dengan penuh iman dan ikhlas, baik itu mengetahuinya atau tidak. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Barangsiapa bangun shalat pada malam Lailatul Qadar karena iman dan keikhlasan maka dosanya yang telah lalu diampuni" [5]

Di sini tidak dikatakan, jika ia tahu waktu turunnya. Jadi tidak disyaratkan untuk mendapatkan pahala Lailatul Qadar orang yang beribadah harus mengetahui waktunya dengan pasti. Tetapi barangsiapa beribadah pada setiap malam dari sepuluh malam terkahir bulan Ramadhan, karena keimanan dan keikhlasan maka kami yakin bahwa ia pasti mendapatkan Lailatul Qadar sama saja apakah terjadi di awalnya, pertengahannya ataupun akhirnya. Allah lah yang memberi taufik.


[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka Arafah]
________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat Bukhari dalam "Fadhlu Lailatul Qadri" Bab Mencari Lailatul Qadar (2016). Dan Muslim dalam "Shiyam" Bab Keutamaan Lailatul Qadar.
[2]. Hadits Riwayat Bukhari dalalm "Fadhilah Lailatul Qadar" Bab Mencari Lailatul Qadar (2015). Dan Muslim Dalam "Shiyam" Bab Keutamaan Lailatul Qadar (215).
[3]. Sudah ditakhrij
[4] Hadits Riwayat Bukhari Dalam "Shalat Tarawih" Bab Mencari Lailatul Qadar Pada Malam Ganjil Dari Sepuluh Malam Terakhir (1913). Dan Muslim Dalam "Shiyam" Bab Keutamaan Lailatul Qadar (1169)
[5] Hadits Riwayat Bukhari "Kitab Iman" Bab Sunnah Shalat Bulan Ramadhan Termasuk Dari Iman (37). Dan Muslim "Shalat Musafirin" Bab Hasungan Untuk Shalat Bulan Ramadhan (173).




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?acti

04 Agustus, 2010

ADAB-ADAB JIKA BERMIMPI BURUK

Disyari'atkan bagi orang yang bermimpi sesuatu yang tidak disukainya untuk meludah ke sebelah kirinya tiga kali saat ia ter-jaga dari tidurnya, lalu memohon perlindungan kepada Allah dari gangguan setan dan dari keburukan mimpinya itu, sebanyak tiga kali, lalu merubah posisi tidurnya ke bagian lainnya. Dengan be-gitu mimpi tersebut tidak akan membahayakannya. Kemudian dari itu, hendaknya tidak menceritakannya kepada orang lain, karena Nabi a memerintahkan orang yang memimpikan sesuatu yang tidak disukainya agar melakukan hal-hal tersebut. Adapun bila ia memimpikan sesuatu yang menyenangkannya, hendaklah ia memuji Allah atas mimpi tersebut dan tidak menceritakannya kecuali kepada orang yang akan senang mendengarnya. Demikian, sebagaimana yang diriwayatkan secara shahih dari Rasulullah SAW (HR. Al-Bukhari dalam Bad’ul Khalqi [3292]; Muslim dalam ar-Ru'ya [2261]).

Kitab ad-Da'wah, al-Fatawa, Syaikh Ibnu Baz, hal. 262

ADAB-ADAB RUQYAH

Pertanyaan:
Sifat-sifat dan adab-adab bagaimanakah yang seharusnya dila-kukan oleh orang yang meruqyah?

Jawaban:
Bacaan ruqyah tidak akan berguna terhadap orang yang sakit kecuali dengan beberapa syarat:

Syarat pertama: Pantasnya orang yang meruqyah adalah seorang yang baik, shalih, konsisten (istiqamah), memelihara shalat, ibadah, dzikir-dzikir, bacaan, amal-amal shalih, banyak melaku-kan kebaikan, jauh dari perbuatan maksiat, bid'ah, kemungkaran-kemungkaran, dosa-dosa besar dan kecil, berusaha selalu makan yang halal, khawatir dari harta yang haram, atau syubhat, karena sabda Nabi SAW,

"Perbaikilah makananmu, niscaya kamu menjadi orang yang doa-nya terkabul." (HR. Ath-Thabrani di dalam al-Ausaath sebagaimana di dalam Majma’ al-Bahrain (5026))


"Beliau menyebutkan seseorang yang melakukan perjalanan jauh, (rambut) kusut, berdebu, mengulurkan tangannya ke langit seraya (berkata): wahai Rabbku, wahai Rabbku, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, diberi makanan dengan yang haram, maka bagaimana bisa dikabulkan karena hal itu." ( HR. Muslim, kitab az-Zakah (1015))

Makanan yang halal termasuk di antara penyebab dika-bulkan doa. Di antaranya lagi adalah tidak menentukan upah atas orang yang sakit, menjauhkan diri dari mengambil upah yang lebih dari kebutuhannya. Maka semua itu lebih mendukung ke-manjuran ruqyahnya.

Syarat kedua: Mengenal ruqyah-ruqyah yang dibolehkan berupa ayat-ayat al-Qur`an seperti al-Fatihah, al-Mu'awwidzatain, surah al-Ikhlash, akhir surah at-Baqarah, permulaan surah Ali Imran dan akhirnya, ayat Kursi, akhir surah at-Taubah, permulaan surah Yunus, permulaan surah an-Nahl, akhir surah al-Isra', permulaan surah Thaha, akhir surah al-Mu’minun, permulaan surah ash-Shaffat, permulaan surah Ghafir, akhir surah al-Jatsiyah, akhir surah al-Hasyr. Dan di antara doa-doa al-Qur`an yang disebutkan terdapat dalam al-Kalim ath-Thayyib (susunan kalimat yang ringkas tapi padat) dan seumpamanya, disertai meludah sedikit setelah membaca, dan mengulangi ayat tersebut sebagai tiga kali umpamanya, atau lebih banyak lagi.

Syarat ketiga: orang yang sakit adalah orang yang beriman, shalih, baik, takwa, konsisten (istiqamah) atas agama, jauh dari yang diharamkan, maksiat, sifat aniaya, karena firman Allah SWT,
"Dan Kami turunkan dari al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian." (Al-Isra' :82).

Dan firmanNya,
"Katakanlah, 'Al-Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang al-Qur'an itu suatu kegelapan bagi mereka." (Fushshilat :44).

Biasanya tidak begitu berpengaruh terhadap ahli maksiat, meninggalkan kewajiban, takabbur, sombong, melakukan isbal (menjulurkan pakaian hingga menutupi mata kaki, pent-), mencukur jenggot, ketinggalan shalat dan menundanya, melalaikan ibadah dan seumpama yang demikian itu.

Syarat keempat: Orang yang sakit meyakini bahwa al-Qur'an adalah penawar, rahmat, dan obat yang berguna. Apabila ia ragu-ragu, maka hal itu tidak ada gunanya. Misalnya ia berkata, "Cobalah ruqyah. Jika bermanfaat, alhamdulillah dan jika tidak bermanfaat juga tidak apa-apa." Tetapi ia harus yakin dengan mantap bahwa ayat-ayat tersebut benar-benar bermanfaat dan sesungguhnya ayat-ayat itulah yang merupakan penawar yang sebenarnya, sebagaimana yang dikabarkan oleh Allah SAW.

Maka, apabila syarat-syarat ini telah terpenuhi, niscaya ber-manfaat dengan izin Allah SWT.

(SUMBER: Fatwa Syaikh Abdullah al-Jibrin yang beliau tanda tangani) SALSABILLAH